
Para pahlawan adalah sungai yang mengalir deras, atau yang menggelombang dahsyat. Semua potensi di dalam dirinya keluar satu demi satu, semua kehebatan di dalam dirinya menggelorah ke permukaan bagai gelombang, semua bakat di dalam dirinya tertiup kencang bagaikan badai. Ia menangkan kehidupan, maka ia mengukir sejarah, sebab sejarah adalah catatan pertualangan hidup. Ia mengejar dan menangkap takdirnya, maka ia mendapatkan mahkota kepahlawanan. Sebab mahkota itu tidak pernah dihadiakan, ia diperoleh karena ia direbut. Sebagai kemerdekaan adalah piala yang direbut oleh bangsa-bangsa yang terjajah, seperti itulah kepahlawanan menjadi mahkota yang dinobatkan kepada para pengejarnya.
Karena itulah kepahlawanan senantiasa menjadi beban yang berat bagi jiwa manusia. Karena itulah tidak banyak mnusia yang bersedia menemuh jalan panjang kepahlawanan. Dan jika ada diantara mereka yang bersedia mungkin dia tidak akan bertahan lama. Lalau berhenti, dan menerima hidupnya yang mungkin hanya ala kadarnya. Itulah sebabnya mengapa pahlawan selalu sedikit. Bukan karena tidak banyak yang bisa menjadi pahlawan. Itu lebih karena orang-orang berbakat itu tidak mau dan tidak bersedia memenuhi syarat-syarat kepahlawanan. Dan itulah yang membuat para pahlawan selalu “menderita” karena beban hidup yang banyak ini akhirnya hanya dipikul oleh sedikit orang. Hidup ini seringkali tampak tidak adil dalam pandangan ini, karena ia mendistribusi beban-bebannya secara tidak merata.
Dulu, Abu Tammam, sang penyair hikmah dari tanah Arab. Pernah mengatakan: “Tidak ada aib yang kutemukan dalam diri manusia, melebihi aib orang-orang yang sanggup menjadi sempurna, namun tidak menjadi sempurna.” *
No comments:
Post a Comment